Makalah Fiqih. Amm, Khas, Mutlaq, Muqayyad , Lengkap


Makalah Fiqih. Amm, Khas, Mutlaq, Muqayyad , Lengkap, Apakah pengertian dari ‘amm dan khas itu,

Jelaskan bagaimana bentuk – bentuk ‘amm, Bagaimana kaidah dari ‘amm itu ?

Jelaskan macam – macam dari khas ?, Jelaskan hukum dari khas itu ?, Dapat memahami kaidah – kaidah usul fiqih yang berhubungan dengan ‘Aam (umum) dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad.Dapat mengetahui dan menerapkan kaidah – kaidah uhul fiqih (‘Aam (umum) dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad). Menambah wawasan tentang kaidah – kaidah ushul fiqih.








KATA PENGANTAR




Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas kelompok ini. Dan shalawat beserta salam, penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan pemahaman kaidah – kaidah ushul fiqih.




Makalah ini berjudul kaidah – kaidah ushul fiqih “ Aam dan Khas serta Mutlaq dan Muqoyyad “ yang ditulis penulis sebagai tugas mata pelajaran Fiqih Bab Kaidah – Kaidah Ushul Fiqih. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami , menjelaskan , dan menerapkan kaidah – kaidah ushul fiqih dengan beberapa sub pokok bahasan yaitu “Aam dan Khas serta Mutlaq dan Muqoyyad “.




Serta Tiada Gading Yang Tak Retak, begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.




Mojokerto,23 Januari 2014










Penulis




















































DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR .................................................................................... 1




DAFTAR ISI .................................................................................... 2




Bab I Pendahuluan




1.1 Pendahuluan .................................................................................... 3




1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3




1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 3




1.4 Metode Penulisan .................................................................................... 4




1.5 Sistematika Penulisan............................................................................... 4




Bab II Pembahasan




a) ‘aam dan kaidahnya beserta bentuk – bentuknya..................................... 5-6




b) Pembagian ‘aam dan kaidah – kaidahnya................................................ 7




c) Takhsis ‘aam dan pengertian khas........................................................... 8-9




d) Hukum khas dam macam – macam lafadz khas...................................... 9-10




e) Mutlaq dam muqayyad............................................................................ 10




f) Pengertian mutlaq dam muqayyad...........................................................11-12




g) Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad...................................................... 13-15




Bab III Penutup




1.6 Kesimpulan .................................................................................. 16




1.7 Saran .................................................................................. 16




1.8 Daftar Pustaka .................................................................................. 17






















BAB I




Pendahuluan




1.1 Latar Belakang




Setiap lafadz ( kata ) yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafadz itu. Ada pula lafadz yang mengandung beberapa pengertian yang mengandung beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafadz itu. Apabila hukum berlaku untuk lafadz itu, maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, ada juga suatu lafadz yang hanya mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk itu saja. Lafadz yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut‘Amm ( umum ), sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian tertentu, disebut Khash.




Lafadz yang khusus itu ada yang digunakan tanpa dikaitkan kepada sifat apapun, dan ada pula yang dikaitkan kepada sifat atau keadaan tertentu. Lafadz yang tidak dikaitkan kepada sesuatu apapun disebut mutlaq, sedangkan lafadz yang dikaitkan kepada sesuatu disebut muqayyad.




Untuk itu, kelompok kami akan memaparkan makalah kami yang membahas lafadz ‘Aam (umum) dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad.










1.2 Rumusan Masalah




1. Apakah pengertian dari ‘amm dan khas itu ?




2. Jelaskan bagaimana bentuk – bentuk ‘amm !




3. Bagaimana kaidah dari ‘amm itu ?




4. Jelaskan macam – macam dari khas ?




5. Jelaskan hukum dari khas itu ?




1.3 Tujuan Penulisan




1. Dapat memahami kaidah – kaidah usul fiqih yang berhubungan dengan ‘Aam (umum) dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad.




2. Dapat mengetahui dan menerapkan kaidah – kaidah uhul fiqih (‘Aam (umum) dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad).




3. Menambah wawasan tentang kaidah – kaidah ushul fiqih.










1.4 Metode penulisan




Untuk mendapatkan data dan informasi yang di perlukan, penyusunan makalah ini menggunakan metode – metode sebagai berikut:




ü Mencari materi di internet.




ü Membuat suatu kesimpulan.




ü Berdiskusi dengan teman.




1.5 Sistematika penulisan




i. Bagian Awal.




ii. Halaman Kulit/Sampul




iii. Halaman Jilid




iv. Kata Pengantar




v. Daftar Isi
































































BAB II




ISI & PEMBAHASAN




BAB 2. KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH




A. ‘AMM




1. Am dan kaidahnya




Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid Hakim sebagai berikut :




اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً




Artinya :




‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.




Misalnya : kata ‘amm yaitu :




ان الانسان لفي خسر ○ الا الدين امنوا وعملواالصلحت




yang berarti “ Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”.




Arti manusia disini meliputi semua jenis manusia tanpa memperdulikan usia, jenis kelamin, jabatan/ kedudukan dan segala gelar-gelar yang melekat pada diri manusia. Baik anak-anak dan orag tua, laki-laki dan perempuan, juragan dan buruh, guru dan siswa, semuanya adalah termasuk manusia.




Contoh lafaz Am seperti lafaz "laki-laki" ( الرِّجاَلُ ) dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz "manusia" itu mencakaup semua manusia. Sementara golongan Hanafiah memberi definiai lain sebagai berikut:




“Lafaz Am ialah suatu lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.




2. Bentuk-bentuk lafadz ‘amm (umum).




a. Kata kull ( كل/ setiap) dan jami’ ( جميع / semua ). Misalnya :




كل امرئ بما كسب رهين




“ Tiap-tiap ( kull ) manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan” (QS.At-thur : 21)




b. Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya. Seperti kata Al walidat




( para ibu ).




Misalnya Surat Al Baqarah : 233 :




والوالدات يرضعن اولادهن حولين كاملين




“ Para ibu (hendaklah) menyusukan ananknya selama dua tahun penuh, yaitu : bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”. ( QS. Al Baqarah : 233)




c. Kata benda tunggal yang dima’rifatkan dengan alif lam. Contoh :




والسارق والسارقة فقطعوا ايديهما




“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”. (QS. Al Maidah : 38)




d. Isim isyarah (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata من. Contoh :




ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله الا ان يصدقوا




“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja ( hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya ( si terbunuh ) kecuali jika mereka ( keluarga terbunuh ) bersedekahlah” ( QS. An Nisa’ : 92 )




e. Isim nakiroh yang dinafikan, seperti kata لا جناح dalam Surat al Mumtakhanah 10 :




ولا جناح عليكم ان تنكحو هن ادا اتيتموهن اجورهن




“ Dan tidak ada dosa ( لا جناح ) atas kamu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada mereka maharnya . . .” (QS. Al Mumtakhanah : 10 )




f. Isim maushul (kata ganti penghubung). Misalnya kata الدين




ان الدين ياءكلون اموال اليتامى ظلما انما ياءكلون في بطونهم نارا وسيسلون سعيرا




“ Sesungguhnya orang-orang yang (الدين ) memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala” (QS. An Nisa’ : 10)




g. Isim istifham (kata tanya). Contoh :




فاين تدهبون




“ Maka kemanakah kalian akan pergi ?” (QS. At Takwir : 26)




3. Pembagian Lafadz ‘Amm




a. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya, karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis. Misalnya :




وما من دابة في الارض الا على الله رزقها




“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizqinya . . ” (QS. Hud : 6 )




b. Lafadz umum padahal yang adalah makna khusus, karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya :




ما كان لاهل المدينة ومن حولهم من الاعراب ان يتخلفوا عن رسول الله ولا




يرعبوا بانفسهم عن نفسه




“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah ( pergi berperang ) dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul” ( QS. At Taubah : 120 )




c. Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh QS. Al Baqarah : 228 :




والمطلقا ت يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء




“ Dan wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru”. ( QS. Al Baqarah : 228 )




4. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘amm.




a. ‘Amm dan maksudnya.




Makna ‘amm itu menurut maksud lafadznya, demikian yang banyak dipegangi jumhur Ulama’. Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafadz umum itu tidak hanya berlaku pada lafadznya tetapi juga berlaku pada maknanya.




b. ‘Amm dan ketentuan umum.




Jumhur Ulama menetapkan bahwa keumuman lafadz itu belum menunjukkan pada suatu hukum, karena hukum mencakup perkataan, perbuatan maupun si pelakunya, sedang umum itu masih belum mencakup keseluruhan itu. Contoh, semua pencuri harus dipotong tangannya, padahal ketentuan potong tangan bagi pencuri itu ada ketentuan-ketentuan khusus.




c. ‘Amm dan cakupannya.




Lafadz ‘amm itu keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafadz umum yang mutlaq itu bersifat sebagian lafadz umum yang mencakup keseluruhan itu hukumnya ditujukan kepada setiap individu, sedang lafadz umum yang menunjukkan sebagian maka hukumnya berlaku bagi individu tertentu.




5. Takhsis ‘amm




Berkaitan dengan lafadz umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudhori Beik dalam bukunya Ushul Fiqh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan suatu lafadz umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz umum dengan dalil.




Diantara dalil-dalil pentakhsis adalah takhsis dengan ayat Alqur’an, takhsis dengan As-Sunnah dan takhsis dengan Qiyas.




B. KHAS




1. Pengertian Khas




Dari segi bahasa, kata khas berarti tertentu dan khusus. Sedangkan dalam Istilah Ushul fikih, khass adalah




اَللَّفْظُ الَّذِى يَدُلّ عَلَى مَعْنًى وَاحِد’lafal yang menunjukkan satu makna tertentu’. Makna tertentu tersebut biasa menunjukkan perorangan seperti Aisyah, atau menunjukkan satu jenis seperti perempuan atau menunjukkan bilangan seperti lima, tujuh, dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan sebagainya.




Secara bahasa khash berarti lawan dari ‘amm. Secara istilah ialah :




اللفظ الدال على محصور بشحص او عدد




“ Lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan”.




Menurut Ulama’ Al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu sebutan saja. Oleh karena itu, karakteristik lafadz khash adalah :




v Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu kalimat.




v Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang.




v Suatu lafadz yang diberi batasan dengan sifat atau idhafat.




Dari ketiga karakteristik diatas dapat dipahami bahwa lafadz khash menunjukkan makna tertentu dan spesifik, yang cakupannya terbatas pada satu obyek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu.




2. Hukum Khash.




Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’i maka makna khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy ( قطعى ) bukan dhonny ( ظنى ), contohnya :




والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء




“ Dan wanita-wanita yang ditalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali.”




Lafadz tsalatsah disitu adalah khash dan maknanya qath’iy. Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlaq tanpa ada batasan atau ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contohnya اتقواالله ( bertaqwalah kepada Allah ). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسسوا ( dan janganlah kamu memata-matai ). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz muthlaq, ikatan atau batasan, perintah dan larangan.




Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan. Tidak ada pertentangan antara Ulama’ Ushul Fiqh mengenai ketetapan hukum qath’iy dari lafadz khash.




3. Macam-macam lafadz khash




§ Lafadz khash berbentuk mutlak




والدين يظا هرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل




ان يتمسا دالكم توعظون به والله بما تعملون خبير




“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak abdum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Mujadalah : 3)










§ Lafadz khash berbentuk muqayyad.




ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة




“Barangsiapa membunuh orang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan budak yang beriman”. (QS. An Nisa’ : 42)




§ Lafadz khash berbentuk amr.




ان الله ياءمروكم ان تؤدوا الامنت الى اهلها




“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (QS. An Nisa’ : 58)




§ Lafadz khash yang berbentuk larangan.




ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن




“ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (QS. Al Baqarah : 221).










C. MUTLAQ DAN MUQAYYAD




Pada suatu saat, seseorang baik itu ayah, ibu, atau kakak anda meminta anda membeli sesuatu. Misalnya : ayah anda berkata,”Tolong belikan buah-buahan!!”. Lalu anda pergi ke pasar / swalayan dan membeli buah strawberry, apel, mangga dll yang termasuk buah, kemudian ayah anda berkata bahwa buah yang anda beli tidak sesuai dengan kehendak ayah anda, sehingga anda disalahkan. Akan tetapi, apakah anda menerima jika disalahkan?? Tentunya tidak kan?, sebab ayah anda hanya berkata buah, tanpa jelas buah apa yang dimaksud/dikehendaki.




Lain halnya apabila ayah anda berkata, “Tolong belikan buah kurma!” sementara anda membelikannya buah anggur dan jeruk. Jika hal ini terjadi, anda memang telah melakukan kesalahan, karena jelas-jelas ayah anda berkata buah kurma, bukan buah anggur/lainnya.




Gambaran diatas adalah masalah ketidak jelasan dan kejelasan makna kata. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kalian bisa jadi sering menjumpai kasus seperti diatas. Kata-kata yang terlalu umum maknanya dalam istilah fiqih dapat dikelompokkan ke dalam lafal ‘amm dan mutlaq. Di sisi lain, anda pun sering menjumpai kata-kata yang artinya sudah jelas dan spesifik. Kata-kata seperti ini dapat digolongkan ke dalam khass dan muqayyad.




Ungkapan yang terlalu umum pasti akan menyulitkan pendengar atau pembaca mencari maksud sesungguhnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan kata lain yang bisa mengkhususkannya.




1. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad




Secara bahasa, Mutlaq berarti tidak terikat. Sedangkan menurut Istilah Ulama’ ushul, mutlaq adalah :




لَفْظٌ خاَصٌّ قُيِّدَ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَةُ




Artinya : “Suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi keumumannya”.




§ Muhammad Al Khudhari Beik, memberikan definisi :




المطلق ما دل على فرد او افراد شا ئعة بدون قيد مستقل لفظا




Muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.




§ Abu Zahrah memberikan definisi :




اللفظ المطلق هو الدي يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة اوالجمع




اوالوصف بل يدل على الماهية من حيث هي




Lafadz muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.




Dari ketiga pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Contoh firman Allah berikut ini :










وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (المجادلة:3)




“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”










Dengan demikian Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.




Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk mutlaq, harus diamalkan berdasarkan kemutlaq-annya, sebagaimana contoh ayat 3 surat al-Mujadalah di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya adalah bahwa seorang suami yang men-dzihar istrinya kemudian ingin menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak beriman.




Contoh lain yaitu : Lafadz raqqabah dalam ayat : فتحرير رقبة




Jadi, lafadz raqabah adalah mutlaq.










Sedangkan Muqayyad secara bahasa berarti terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah:




لَفْظُ خَاصٌّ لَمْ يُقيَّدْ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَةٌ




Artinya : “Suatu lafadz tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafadz lain yang mengurangi keumumanynya”.




Contoh muqayyad : Lafadz raqqabah dalam ayat :




وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء:93)




“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.




Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai qayid atau ikatan yaitu mukminah. Maka ketentuan hukum dari ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.




Oleh karena itu, setiap ayat yang datang dalam bentuk muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkanqayid

yang menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.




Jadi, lafadz raqabah adalah muqayyad sebab dibatasi oleh lafadz mukminan (raqqabah mukminah).




Jadi, perbedaan antara muthlaq dan muqayyad itu adalah bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Sedangkan muqayyad, menunjukkan kepada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau sifat dan keadaan.




2. Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad




Nash yang mutlaq harus tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaqnya itu, selama tidak ada dasar yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad wajib dipahami sesuai dengan muqayyadnya itu.




Bila pada suatu Nash khithab datang bersifat mutlaq tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para Ulama’, yaitu :




a. Jika masalah dan hukum nash itu sama dengan keadaan mutlaq, dan muqayyad terdapat pada hukum, maka yang wajib dipegang adalah yang muqoyyad.




Contoh : Ada seseorang sahabat yang berhubungan dengan istrinya di siang hari pada bulan ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada nabi.




Ia berkata : اِنيِّ اَفْطَرْتُ فيِ رَمَضَانَ




Mendengar kata-kata itu (dalam suatu riwayat) nabi bersabda :




اِعِتْقُ رَقَبَتً اَوْ صُم شَهْرَيْنِ اَوْ اَطْعِمِ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنً




Artinya : “Merdekakanlah hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau berilah makan enam puluh orang fakir miskin”.




Namun dalam riwayat lain berkata :




فَهَل تَسْطِيْعُ اَنْ تَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ




Artinya : “Apakah engkau sanggup berpuasa selama 2 bulan berturut-turut ??”










Dalam hadits pertama tidak disebutkan lafadz : مُتَتَا بِعَيْنِ




Yang artinya berturut-turut, berarti termasuk muqayyad. Sedangkan dalam hadits kedua disebutkan, berarti termasuk mutlaq. Maka yang dapat dipegang adalah hadits kedua, yaitu puasa 2 bulan berturut-turut.




b. Jika masalah hukum kedua nash itu sama, serta dalam keadaan mutlaq dan muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka yang harus dipegang adalah muqayyad.




Contoh dalam suatu hadits :




فِي خَمْسٍ مِنَ الْاِ بِلِ زَ كَاةٌ




Artinya : “Pada lima ekor wajib zakat”




Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan :




فيِ خَمْسٍ مِنَ الا بِلِ السَّا ئِمَةٍ زَكاَةٌ




Artinya : “Pada lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat”.




c. Jika masalahnya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut sebagian Ulama’ Syafi’iyah, yang wajib dipegang adalah yang muqayyad.




Contoh : Mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zihar.




Mengenai kifarat pembunuhan tersalah, Allah berfirman :




ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة




Artinya : “Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS.An-Nisa’ :92)




Sedangkan mengenai kifarat zihar, Allah berfirman :




فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ أَ ن يَتَمَا سَّ




Artinya : “Maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur”.




Persoalan yang ada dalam 2 ayat diatas adalah berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai mengenai pembunuhan tersalah, sedangkan pada ayat kedua mengenai masalah zihar. Hukum terhadap kedua sama yaitu memerdekakan budak. Namun yang pertama disebutkan budak yang beriman, sedangkan yang kedua hanya disebutkan budak saja. Karenanya, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan budak yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah, maupun kifarat zihar.




d. Jika masalahnya sama dan hukumnya berbeda, maka menurut jumhur Ulama’ pengikut Imam Syafi’I (Syafi’iyah) dan pengikut Imam Hambali (Hanabilah)harus berpegang kepada yang muqayyad. Sedang menurut Malikiyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqayyad kepada masing-masing. Yaitu yang mutlaq harus mutlaq dan yang muqayyad harus muqayyad harus muqayyad.




Contoh : Mengenai bersuci (dengan tayamum dan wudhu).




Dalam ayat wudhu dikatakan :




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (المائدة:6)




Artinya : “Hai orang-orang beriman, jika kamu hendak melakukan sholat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah :6 )




فان لم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه




Artinya : “Bila kamu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang bersih basuhlah mukamu dan kedua tanganmu dengan bersih” (QS.Al-Maidah :6)










Perhatikan Batas membasuh atau mengusap dalam 2 ayat diatas dan anda temukan ada perbedaan kan? Untuk wudhu sampai siku-siku (Muqayyad) sedang untuk tayamum tidak ada batas-batas tertentu 9 (Mutlaq).




Karena itu, menurut jumhur ‘Ulama’ syafiiyah dan hanafiyah yang harus dipegang adalah sampai batas siku (Muqayyad), baik untuk wudhu maupun tayamum. Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabilah, untuk wudhu harus membasuh sampai siku-siku (Muqayyad) dan untuk tayamum hanya cukup mengusap sampai pergelangan tangan saja (Mutlaq).




e. Jika masalahnya berbeda, dan hukumnya berbeda pula, maka yang harus dipakai pegangan adalah masing-masing, yang mutlaq sesuai dengan mutlaqnya dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya.




Contoh : Kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat sumpah.




Dalam kifarat pembunuhan tersalah dinyatakan :




فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَينِ مُتَتَبِعَين




Artinya : ”Bagi siapa yang tidak memperoleh (hamba sahaya), maka hendaklah dia berpuasa 2 bulan berturut-turut”(QS.An-Nisa’ 92).




Dalam kifarat sumpah :




فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاشَةِ أَيّامٍ




Artinya : “Bagi siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya, maka hendaklah dia berpuasa 3 hari berturut-turut” (QS.Al-Maidah 89).




Masalah dan hukum dalam dua ayat diatas berbeda. Oleh sebab itu, keduanya hendaknya dijalankan sesuai dengan persoalan dan hukum masing-masing




BAB III




1.4 Kesimpulan




Ketetapan hukum syar’i yang sudah digariskan oleh Alqur’an dan as Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mumpuni bagi calon-calon mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu Ushul Fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.










1.5 Saran




Demikian makalah Fiqih Bab kaidah – kaidah ushul fiqih yang telah kami buat.Makalah ini belumlah mencakup semua yang ada pada materi ini,tetapi kami berharap tetap ada manfaatnya.




Akhirnya tegur sapa dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan,karena tidak ada manusia yang sempurna.
































































1.6 Daftar Pustaka




1. Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ( Jakarta : Prenada Media, 2005 ), h. 196




2. Syeikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, Ushul Fiqh, ( Kairo : Darul Aqiqah, 2003 ), h. 60




3. Tengku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, ( Semarang : PT Pustaka Rizqi Putra, 1997 ), h. 320




4. Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Quwait : Darul Qalam, 1997 ), h. 281




5. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001 ), h. 116.




6. Ibid,




7. Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press, ), h. 239




8. Op.cit, h. 117




9. Syafi’i Karim, Ushul Fiqh, ( Bandung : Pustaka Setia, 1997 ), h. 172




10. Team guru PAI MADRASAH ALIYAH, FIQIH,(Sragen : Akik pustaka , 2013 )






























Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel