Makalah Fiqih. Ijma', Sumber Hukum Islam Ketiga


Apa pengertian, syarat dan rukun ijma’, Apa saja Macam-macam ijma’, Ijma’ Sebagai Dasar Hukum, Objek ijma’ dan Kemungkinan Terjadi Ijma’, Sandaran Ijma’, Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer 



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Yang mana atas berkat Rahmat dan hidayah Nya sehingga kami kelompok III dapat mengerjakan tugas makalah ini dengan lancar. Sebagaimana dimaklumi disela-sela kegiatan kami sebagai siswa tugas makalah ini dapat kami susun untuk memenuhi tugas Fiqih. Dengan adanya makalah ini pembaca akan mendapatkan sedikit pengetahuan terkait dengan pokok materi mata pelajaran Fiqih khususnya materi tentang “IJMA”.

Kami sekelompok telah berusaha secara maksimal untuk menyusun Makalah ini untuk memenuhi tugas kami. Tentu saja kami sangat menyadari bahwa penyusunan tugas makalah ini jauh dari sempurna. Apalagi sesuai dengan apa yang diharapkan guru kami. Menyadari hal ini kami sekalompok senantiasa mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca, supaya makalah ini lebih sempurna.



Mojokerto, 1 Oktober 2013

Penyusun



















DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL .............................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................

BAB I......................................................................................................................

PENDAHULUAN.................................................................................................

1.1 LatarBelakang......................................................................................

1.2 RumusanMasalah.................................................................................

1.3 Tujuan...................................................................................................

BAB II....................................................................................................................

PEMBAHASAN...................................................................................................

2.1 Pengertian, syarat dan rukun Ijma’.......................................................

2.2 Macam-macam dan dasar hukum Ijma’ ..............................................

2.3 Objek dan kemungkinan terjadinya Ijma’ ..........................................

BAB III.................................................................................................................

PENUTUP.............................................................................................................

3.1 Kesimpulan..........................................................................................

3.2 Saran....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................









BAB 1

PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.



















1.2. Rumusan Masalah

A. Apa pengertian, syarat dan rukun ijma’ ?

B. Apa saja Macam-macam ijma’?

c. Ijma’ Sebagai Dasar Hukum

d. Objek ijma’ dan Kemungkinan Terjadi Ijma’

e. Sandaran Ijma’

f. Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer





1.3. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para siswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits.









































BAB 2

PEMBAHASAN



I. Pengertian, Syarat dan Rukun Ijma’

A. Pengertian Ijma’

Secara Bahasa ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat. Dan secara istilah berarti :

اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي

"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'."



B. Syarat-syarat Ijma’

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid

Yang dimaksud Mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.

Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.

2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.

3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu dikarenakan ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.

4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.

Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat

Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.



C. Rukun Ijma’

1. Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.

2. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa.

3. Kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa tersebut.

4. Kebulatan pendapat dari semua mujtahid atas suatu hukum sungguh sungguh terjadi.



II. Macam-Macam Ijma’

Ijma’ ummat itu dibagi menjadi dua :

a. Ijma’ Qauli (ucapan) : ijma’ dimana para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan. Ijma’ ini disebut juga ijma’ Qath’i.

b. Ijma’ sukuti (diam) : ijma’ dimana para ulama ijtihad berdiam diri tiada mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma’ ini juga disebut dengan ijma’ Zanni.

Disamping ijma’ umat tersebut, masih ada macam-macam ijma’ yang lain, yaitu :

a. Ijma’ sahabat

b. Ijma’ ulama’ Madinah

c. Ijma’ ulama’ Kuffah

d. Ijma’ Khulafah yang empat

e. Ijma’ Abu Bakar dan Umar

f. Ijma’ itrah yakni ahli bait = golongan Syiah

Yang dimaksud Ulil Amri ialah orang-orang yang memerintahkan dan para ulama’.

Menurut Hadis:

لا تجمع امتى على الضلالة

Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat



III. Ijma’ Sebagai Dasar Hukum



IV. Objek ijma’

Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits



V. Kemungkinan Terjadi Ijma’

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:

Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:

a. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.

b. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.

Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dzanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.



VI. Sandaran Ijma’



VII. Mengaplikasikan Ijma’ di Zaman Kotemporer



1. Ijma’ Pada Masa Klasik

Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu.

Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.

2. Ijma’ Pada Masa Modern

Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.





























BAB 3

PENUTUP



3.1. Kesimpulan

Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:

Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.

Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.

Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;

Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak wajib diikuti.



3.2. Saran

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.



















DAFTAR PUSTAKA

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel